Little things to say Alhamdulillah

Setelah setahun menempuh kuliah di sini, baru kali ini ingin cerita yang ada kaitannya dengan pengalaman selama perkuliahan 🙂 Sebenarnya uda kepikiran dari beberapa waktu yang lalu, cuma belum sempat, lagi sibuk-sibuknya tugas. Lumayan, momen-momen ini mungkin bisa jadi kenangan tersendiri nantinya.

Sebenarnya sudah pernah ada yang nanya bagaimana kuliah di sini, apa bedanya dengan kuliah di negeri sendiri, ya pertanyaan umum yang biasa di tanyakan ke orang yang berkesempatan mencicipi pendidikan di negeri lain. Kemaren-kemaren saya tidak bisa banyak cerita karena tak terlalu memikirkannya, tapi entah kenapa jadi kepikiran, dan akhirnya menemukan hal-hal kecil namun cukup berarti bagi saya.

  1. Pernah kerja bareng teman dari 5 negara berbeda, Belanda, Yunani, Romania, Itali, dan Inggris 🙂
  2. Ngecek publikasi dosen di Google Scholar 🙂
  3. Ngeliat salah satu wajah dosen di face dataset 🙂
  4. Make server dengan memory 64 GB dan hardisk 50 TB 🙂
  5. Ngerasain pake tanda tangan perjanjian segala buat pake dataset dari perusahaan untuk projek kuliah 🙂
  6. Ikutan riset projek bareng student dari universitas lain dan dari profesional untuk jangka waktu 1 tahun ke depan InsyaAllah 🙂
  7. Sholat di bawah tangga darurat 🙂

Mungkin sekian dulu yang teringat sekarang, kapan-kapan nemu lagi nanti diupdate.


Dunia oh Dunia

Dunia memang sungguh menipu bagi kebanyakan manusia, keinginan akan harta, ketakutan akan miskin, syahwat terhadap wanita, kerakusan pada jabatan, perasaan hina karena status sosial, mengejar popularitas,  sering membuat kita lalai dalam mengingat Allah. Kesibukan akan pekerjaan di kantor, mengurusi usaha, sibuk urusan sekolah, jungkir balik demi karir, dan berbagai kegiatan keduniaan membuat kita seolah-olah tak punya waktu untuk belajar tentang agama. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Padahal kita semua yang mengaku muslim tahu dan yakin bahwa kita suatu saat akan mati dan kemudian akan dibangkitkan kembali untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan selama di dunia. Mari luangkan waktu sejenak untuk mengingat akan hal ini. Pikirkan baik-baik, tanamkan dalam jiwa, dan ulangi sesering mungkin, agar menjadi pengingat kita akan negeri akhirat. Apa hakikat dunia sebenarnya?

Kata Rosulullah, hakikat dunia di sisi Allah lebih hina dari pada bangkai kambing yang telinganya cacat.

Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu’anhu, beliau bercerita bahwa suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammelewati pasar melalui sebagian jalan dari arah pemukiman, sementara orang-orang [para sahabat] menyertai beliau. Lalu beliau melewati bangkai seekor kambing yang telinganya cacat (berukuran kecil). Beliau pun mengambil kambing itu seraya memegang telinga nya. Kemudian beliau berkata,“Siapakah di antara kalian yang mau membelinya dengan harga satu dirham?”. Mereka menjawab, “Kami sama sekali tidak berminat untuk memilikinya. Apa yang bisa kami perbuat dengannya?”. Beliau kembali bertanya, “Atau mungkin kalian suka kalau ini gratis untuk kalian?”. Mereka menjawab, “Demi Allah, seandainya hidup pun maka binatang ini sudah cacat, karena telinganya kecil. Apalagi kambing itu sudah mati?” Beliau pun bersabda, “Demi Allah, sesungguhnya dunia lebih hina di sisi Allah daripada bangkai ini di mata kalian.” (HR. Muslim [2957])

Bayangkan, lebih hina dari bangkai kambing cacat, tapi kenapa banyak manusia berlomba-lomba gontok-gontokan mengejarnya? Setidak-tidaknya, ingatkan diri kita dan keluarga kita untuk berhenti mengejar dunia. Ingatkan diri kita dan keluarga kita betapa hina dan tidak berharganya dunia itu di sisi Allah. Cukup, berhentilah mengejar dunia, yang telah berlalu biarlah berlalu, mari kita atur masa depan yang lebih baik 🙂

Kadang kita merasa tidak terlalu mengejar dunia, tapi ternyata kita terlalu menikmati dunia. Kita tidak ngotot menumpuk harta, tapi terlalu terbuai oleh harta yang sudah kita punya, kita memang tidak berminat mendapatkan jabatan, tetapi terlalu terlena dengan jabatan yang ada, yang semuanya bermuara pada lalainya kita pada Agama. Agama seperti pelengkap saja dalam menikmati dunia, bukan yang utama. Hidup santai seperti ini juga bukanlah yang seharusnya kita jalani. Apa hakikat hidup di dunia ini?

Hakikat hidup di dunia adalah seperti layaknya seorang yang asing atau musafir.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang kedua pundakku lalu bersabda, “Jadilah engkau hidup di dunia seperti orang asing atau musafir (orang yang bepergian).” Lalu Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu menyatakan, “Apabila engkau berada di sore hari, maka janganlah menunggu hingga pagi hari. Dan apabila engkau berada di pagi hari maka janganlah menunggu hingga sore hari. Pergunakanlah waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu. Dan pergunakanlah hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al- Bukhariy no.6416)

Seorang musafir tau bahwa dunia ini bukanlah tempat tinggalnya. Ia menyadari bahwa ia sedang dalam perjalanan untuk menuju suatu tujuan akhir. Untuk bisa sampai ke tujuan dengan selamat, maka dia harus tau jalan yang benar, dia harus punya cahaya penerang dan pengetahuan yang menunjukkannya akan keadaan jalan, di mana ada rintangan, di mana jalan pintas, mana-mana saja jalan yang salah, kalau dia bertemu rintangan apa yang harus dilakukan dan sebagainya, dan yang terakhir adalah dia harus bergerak, setelah dia tahu tujuan dan pengetahuan tentang bagaimana menuju tujuannya, maka dia tidak akan bisa sampai dengan hanya berdiam diri, melainkan harus bergerak dan berjalan. Demikianlah perumpamaan orang yang hidup di dunia. Tujuannya adalah akhirat, maka jalan yang benar adalah islam dengan cara berislam yang benar, bukan jalan-jalan berbagai kelompok yang menyimpang, cahaya penerangnya adalah ilmu agama, yang akan membuatnya mengerti bagaimana menempuh jalan yang benar, apa saja rintangan dalam beragama, apa saja kelompok-kelompok yang sesat dan menyimpang, mana-mana jalan yang membuatnya lebih dekat dan di ridhoi Allah, mana-mana perbuatan yang membuatnya semakin menjauh dari tujuan, dan yang terakhir dia harus beramal dengan ilmunya untuk mencapai tujuan tersebut. Demikianlah hakikat hidup di dunia, bukan untuk mengejar dunia, bukan juga untuk menikmatinya, karena dunia bukanlah tujuan kita.

Maka seharusnya setiap diri kita antusias dalam memikirkan akhirat, menimba ilmu agama, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, dan berusaha mendakwahkan agama ini. Memang setiap orang tidak harus menjadi ‘ulama, tapi tiap orang wajib untuk mempelajari agama ini dan mengamalkan sesuai kemampuannya. Mari menimba ilmu, ilmu akan menjagamu sementara harta engkau yang menjaganya.

‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata: Ilmu itu lebih baik daripada harta, ilmu akan menjagamu sedangkan kamulah yang akan menjaga harta. Ilmu itu hakim (yang memutuskan berbagai perkara) sedangkan harta adalah yang dihakimi. Telah mati para penyimpan harta dan tersisalah para pemilik ilmu, walaupun diri-diri mereka telah tiada akan tetapi pribadi-pribadi mereka tetap ada pada hati-hati manusia.”

Mari sadar dan ingatkan diri kita, bahwa dunia bukanlah tempat kita, jangan tertipu, jangan terlena, jangan berhasrat mengejarnya, jangan pula terlalu menikmati dan mencintainya, sesungguhnya kita sedang berjalan di suatu tempat yang sangat hina, di mana banyak ranjau berserakan, banyak jalan yang menyesatkan, banyak tipu muslihat yang menistakan, apa yang nikmat bisa jadi sebenarnya racun, dan apa yang pahit sebenarnya adalah obat. Pengetahuan akan hakikat hal-hal ini hanya didapat dari ilmu agama yang akan menerangi jalan untuk sampai pada tujuan. Mari berhenti menikmati dunia, karena ia sungguh hina.


Bangga dan Bersyukur Jadi Orang Indonesia

Kali ini adalah cerita tentang bagaimana timbulnya perasaan bangga dan bersyukur sebagai orang Indonesia. Sudah lebih dari 20 tahun tinggal di Indonesia, aku tak yakin apa aku pernah benar-benar merasa bangga jadi warga negara Indonesia dan tinggal di Indonesia, tapi tidak berarti otomatis selama itu merasa hina, bukan, hanya saja mungkin belum ada atau sudah lupa momen-momen yang membuat bangga itu. Apakah cerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan membuat bangga sebagai warga negara Indonesia, entahlah aku tak yakin. Dan selama itu pula, rasanya kurang sekali bersyukur karena menjadi orang Indonesia dan tinggal di sana. Anehnya perasaan itu baru benar-benar muncul setelah tinggal sementara di negeri orang, yang jauh berbeda baik letak, suasana, maupun budaya.

Memang betul kalau manusia memang suka lupa bersyukur atas banyak sekali nikmat yang ada sampai ia tak lagi merasakannya. Namun, pindah sebentar ke negeri orang tak serta merta memunculkan rasa bangga itu, ia baru muncul setelah bergaul dan berbagi cerita dengan saudara-saudara baru di sini. Kata orang negeri-negeri di Eropa itu indah, nyaman, canggih, teratur, dan berbagai pujian lainnya. Mungkin memang ia, keliatannya seperti itu, khusus di Amsterdam bisa terbilang indah bangunannya, nyaman suasananya, canggih fasilitas-fasilitasnya, teratur administrasinya, walaupun mungkin bukan yang paling, tapi setidaknya lebih dari Indonesia secara umum. Tapi jujur, aku tak terlalu memperhatikan hal-hal itu, entah kenapa tak terlalu menarik bagiku menikmati keindahan dan kecanggihan kota, lebih menarik dan lebih perlu adalah berjumpa saudara-saudara dan teman baru. Kalau untuk menikmati keindahan kota, aku mungkin bisa datang berjalan-jalan sebentar suatu saat nanti, seperti halnya orang-orang kaya yang liburan keliling Eropa haha, tapi bertemu dan bersahabat dengan saudara-saudara baru, tentu perlu waktu. Kenapa aku bilang bahwa berjumpa saudara-saudara baru itu lebih perlu? Ya, tentu saja selain punya teman baru, bisa saling membantu, dan yang paling penting, ini Eropa kawan, negara bebas, kalau tak pandai-pandai jaga iman bisa terpeleset kawan. Alasan terakhir ini yang paling penting, mendapatkan saudara-saudara yang sholeh merupakan salah satu anugerah terbesar yang Allah berikan sebagai bentuk penjagaan atas diriku. Dan Alhamdulillah dengan berbagai cara yang unik, aku bertemu dengan banyak saudara-saudara yang sholeh di sini.

Hei, mana bagian bangganya? haha.. iya kepanjangan, ga sampai-sampai ke inti ceritanya. Bagian bangga dimulai ketika bercerita dengan saudara-saudara di sini, yang kebanyakan adalah warganegara Belanda, walau keturunan macam-macam. Mereka mengatakan lebih baik di Indonesia daripada di sini, dan menyarakankan agar aku tidak terus tinggal di sini. Mereka sendiri berkeinginan untuk tinggal di Indonesia. Aneh bukan? Ya, awalnya, tapi akhirnya aku sadar, mereka sangat mementingkan untuk menjaga iman dari pada sekedar keindahan dan kecanggihan semu di sini. Tinggal di sini sungguh tak mudah kawan, tak mudah untuk menjaga pandangan dan iman, tak mudah untuk selalu sholat di masjid kawan. Di musim panas ini kan kau dapati orang berbikini di tengah hari di pinggir jalan kawan, atau pakai rok mini berbelah dada naik sepeda kawan, bahkan berjemur seksi di bawah apartemen terpampang dari jendela kamarmu kawan, sungguh tak mudah jaga pandangan dan iman bukan. Pemandangan itu hadir tanpa kau usaha untuk mencarinya kawan, bahkan susah untuk kau hindari kalau naik sepeda karena bahaya kawan (ingat pilem Negeri 5 Menara). Masjid walaupun ada tapi tak sebanyak di Indonesia kawan, dan jangan kau harap dengar suara Adzan, kalau kau tak lihat jam, pasang alarm, foto jadwal sholat, kau kan terlambat kawan. Di kantor-kantor juga tak ada mushola apalagi masjid seperti di Indonesia, bayangkan kawan, perjuangan muslim di sini menjaga dan menegakkan agamanya kawan. Itulah mengapa mereka suka dengan Indonesia walau kata orang negaranya tak seindah, tak senyaman, tak secanggih, tak seteratur negara-negara di sini, tapi kau kan lebih mudah beribadah dan menjaga iman dan agamamu kawan. Jadi bersyukurlah, bersyukur karena tinggal di Indonesia, negara aman tenteram tidak dalam perang, beribadah mudah masjid di mana-mana, pemandangan dan fitnah tidak sekejam di sini.


Amsterdam Rasa Nusantara

Sedikit cerita tentang lingkungan tempat tinggalku sekarang di Amsterdam. Tinggal di sebuah apartment yang tergolong bagus, saking bagusnya, bisa dibilang lebih dari yang dibutuhkan. Fasilitas sangat lengkap, 1 toilet dengan shower, 1 toilet doang,  ruang laundry + mesin cuci,  living room + kitchen, kompor dengan 4 (apa sih namanya tungku kali ya), kulkas, microwave, TV, 2 bedrooms dan ditinggali hanya 2 orang. Yah, wajar saja harganya tergolong cukup mahal 471,92 Euros perbulan *tepokjidat. Apa boleh buat, ini adalah apartment yang disediakan oleh universitas bekerjasama dengan student housing company DUWO, jadi untuk awal-awal memang sangat memudahkan karena tidak perlu nyari sendiri.

Pertama keluar apartement ialah untuk pergi ke Student Information Centre untuk mengurusi administrasi, dan sungguh sangat terkejut karena melihat banyak sekali wanita memakai hijab. Aku tahu bahwa di Netherlands banyak muslimnya, tapi tidak menyangka akan secepat dan semudah itu bertemu dengan orang muslim. Belakangan ternyata ku ketahui bahwa di daerahku itu memang salah satu daerah yang banyak muslimnya di Amsterdam, selain Amsterdam barat. Alhamdulillah mencari makanan Halal sangat-sangat mudah sekali, karena toko Turki ada banyak di sini.

Di bawah ini adalah gambar peta yang diambil dari google maps, dan apartmentku di sekitar tanda A

Maps1

 

Tak jauh dari apartmentku adalah Kampusku UvA Science Park yang bisa ditempuh hanya dengan jalan kaki beberapa menit. Sebenarnya ada hal yang lebih menarik di daerah tempatku tinggal, yang menginspirasi judul tulisan ini, Amsterdam rasa Nusantara. Ya, aku memang tinggal di Amsterdam, tapi kalau melihat nama-nama jalan di maps itu, rasanya seperti tinggal di Indonesia. Lihat maps di bawah untuk lebih jelasnya.

Maps2

 

Ada Balistraat (Jalan Bali), Sumatrastraat, Molukkenstraat (Maluku), Celebesstraat, Palembangstraat, Riouwstraat, Tidorestraat, Mataramstraat, Minahasastraat, Ambonstraat, Solostraat, Semarangstraat, Soembawastraat, Halmaherastraat,  Madurastraat, Lampongstraat, Niasstraat, Timorstraat, Bilitonstraat, Manadostraat, Ternatestraat, Lombokstraat, Borneostraat, Bankastraat, Atjehstraat, Boetonstraat, Karimatastraat, Baweanstraat, Padangstraat. Itulah yang terlihat di googlemaps, dan kadang kulihat langsung kalau lagi melintas di sana.

Di sini ada 2 masjid yang sering aku kunjungi, alhamdulillah dengan bantuan sepeda, jadi lebih mudah, hanya kurang dari 10 menit sudah sampai. Dan alhamdulillah di sini ketemu dengan saudara-saudara baru, memang benar kata-kata imam Syafi’i

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Pergilah kau kan kau dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Tapi tetap saja, walau suasana di sini tak terlalu asing, kembali ke negeri sendiri tetap paling dinanti. Rindu hati bertemu keluarga, teman, dan terutama isteri.

 


Negeri Para Pemalu

Entah kenapa kemaren teringat dengan kata-katanya Agus Hadi Sudjiwo aka Sujiwo Tejo  yang pernah ku dengar dari sebuah acara di TV, tentang KPK. Kurang lebih kata-katanya seperti ini, “KPK itu harusnya sedih saat mengumumkan tersangka, bukan sambil tersenyum seperti merasa bangga”. Yang intinya adalah, kalau merasa satu bangsa, harusnya KPK merasa sedih dan malu jika ada pejabat yang terpaksa harus dijadikan tersangka, bukan menunjukkan wajah senang seolah-olah merasa bangga karena telah berhasil menjadikan ia tersangka. Menurutku ini adalah pemikiran simple namun luar biasa bijaksana, ditengah hiruk pikuk dan senggol bacok dunia perpolitikan dan dunia dunia yang lainnya, di mana terkadang hati nurani yang murni sudah tak sampai lagi bisikannya karena hawa nafsu telah lebih berkuasa atas jiwa.

Andai boleh bermimpi, dan tentunya boleh, aku memimpikan sebuah negeri para pemalu, dimana pemimpinnya adalah para pemalu, begitu juga rakyatnya, rakyat pemalu. Pemimpinnya malu untuk berbuat sewenang-wenang, malu jika tak bisa beri bukti, malu menyia-nyiakan amanat, intinya malu jika tak berbuat yang terbaik untuk agama, bangsa, dan negara. Tak hanya pemimpinnya, rakyatnya pun pemalu bukan main, malu menjelek-jelekkan pemimpin yang keliru, malu mengolok-olokkan pemimpin yang salah atau kadang belum terbukti salah. Rakyatnya lebih memilih mendo’akan pemimpinnya daripada sibuk mengumpatnya. Rakyatnya lebih sibuk berpikir bagaimana ikut memberi daripada terus menuntut. Rakyat yang pandai bersyukur dan malu menjadi kufur.

Rakyat pemalu merasa malu jika saudaranya berbuat keliru, bukan malah gembira hanya karena ia saingan di kantor, lawan politik, atau beda idola. Saking senangnya, sampai diceritakan ke mana-mana, hingga terbuka aib dan cacat kehormatannya. Malu malu malu. Tak tau malu. Apalagi yang mengaku muslim, rasanya menjaga harga diri muslim lain adalah kewajiban dasar dalam ukhuwah.

“Seorang muslim sejati adalah bila kaum muslimin merasa selamat dari gangguan lisan dan tangannya. ” (H. R. Muslim)

“Setiap muslim terhadap muslim lainnya diharamakan darahnya, kehormatannya, dan juga hartanya. ” (H. R Muslim)

“(Dosa) riba itu memiliki 72 pintu. yang paling ringan ialah semisal dengan (dosa) seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Dan sesungguhnya riba yang paling besar ialah seseorang yang melanggar kehormatan/harga diri saudaranya.” (HR. Ath. Thabrani dan lainnya serta dishahihkan oleh Al-Albani)

Tapi sayang, terkadang entah kenapa kita suka lupa dengan kewajiban menjaga kehormatan orang lain, beda bangsa, beda suku, beda partai, beda club, beda kepentingan sering membuat kita terkecoh seolah-olah menjadi halal menjatuhkan harga diri orang lain. Seolah-olah menjadi halal tanpa rasa malu membuka aib orang lain walaupun sudah tahu apa yang dijanjikan bagi orang yang menutupnya.  Lebih parah lagi, malah merasa telah berbuat baik. Malu malu malu.

“Tidaklah seorang hamba menutupi aib hamba lainnya di dunia, melainkan Allah akan menutupi aibnya di hari kiamat kelak.” (HR. Muslim no. 2590)

Apakah layak dengan alasan demi kepentingan orang banyak sehingga memudahkan diri kita sebebas-bebasnya menjatuhkan harga diri dan kehormatan serta membuka aib orang lain? Entahlah.. Bagaimana jika sebelum kita berbicara tentang orang lain, terutama hal yang bisa menjatuhkan harga diri dan kehormatannya, kita pikirkan dulu seolah-olah dia adalah saudara kita, teman kita, anak kita, orang tua kita, atau orang yang kita hormati dan sayangi lainnya, apakah kita akan tetap membicarakannya? Jika iya, barangkali itu memang benar untuk kepentingan yang lebih besar, tapi kalau tidak, mungkin itu tak pantas diungkapkan. Karena memang demikianlah adanya, orang yang kita cacati kehormatannya itu mungkin punya anak, mungkin punya orang tua, mungkin punya banyak teman dekat, sedihkah mereka? Malukah kita jika kita jadi mereka? Apalagi menyebarkannya lewat media, di mana ada banyak sekali mata dan telinga yang menangkapnya, Malu, Malu, Malu, bagaimana kalau saudara kita yang dibicarakan itu? Dan sebenarnya dia memang saudara, entah saudara seagama, sebangsa, atau sesama manusia.

Semoga aku menemukan negeri itu, atau jika ingin itu adalah negeriku, berarti aku pun harus jadi pemalu.


Demi Nama Baik Agama dan Bangsa

Ini tulisan pertama setelah banyak hal yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat. Yup, sekarang statusku sudah tidak single (baru di FB, di KTP belum berubah), dan sekarang sudah bukan pengajar lagi tapi pelajar, dan tinggal di benua yang berbeda. Terkadang waktu terasa berlalu dengan monoton kadangkala terlalu dinamis. Dan aku sedang dalam kondisi yang sangat dinamis, bagaimana tidak, 1 bulan kuliah sudah ujian, dan 2 project sudah menanti. Tapi bukan itu yang ingin kuceritakan kawan, kali ini sesuatu yang lebih besar, bukan tentang aku, tapi tentang bangsa dan agama.. haha.. Sepertinya kalimat terakhir agak aneh, lebih tepatnya lebay.. 🙂

Judul tulisan ini terinspirasi dari kisahku yang awalnya tinggal sendirian di apartemen, namun 2 minggu kemudian datanglah seorang teman yang mengisi kamar sebelah, kemudian tiba-tiba saja kalimat ini pun terpikirkan dengan sendirinya.

Demikianlah ceritanya. End.

Behind the scene…

Saat pertama sampai di apartemen, hati sudah dag-dig-dug, kira-kira teman apartemennya welcome ga ya, secara udah tau kalau di apartemen ada 2 kamar tidur, jadi mungkin sudah ada yang di sana. Ternyata eh ternyata, saat masuk ke dalam apartemen, semuanya keliatan bersih, yang menunjukkan bahwa belum ada penghuninya. Setelah satu harian di apartemen, aku yakin, memang sepertinya baru aku sendiri. Awalnya senang, karena menguasai semua fasilitas sendirian, tapi lama-lama kesepian juga. Saat sendiri, biasanya sebelum makan harus cuci piring dan peralatan masak dulu… yang artinya kalau sudah makan ga dicuci dulu, tapi dibiarkan aja sampai waktu makan berikutnya.. Malasnya aku. Barang-barang ditarok di berbagai tempat, di atas meja makan, meja belajar, kursi dll.

2 minggu kemudian…

Pulang dari rumah teman, tiba-tiba kulihat ada yang aneh dengan dapur, ternyata ada pertambahan jumlah barang yang jelas bukan punyaku.. Jeng Jeng, berarti ada orang, siapakah dia? Tak lama kemudian, bertemulah aku dengan sosok itu, ternyata orang dari negeri matador. Awal pertemuan yang baik, dan aku langsung meminta maaf karena dapurnya yang agak berantakan.

Hari-hari setelah awal pertemuan di atas..

Setiap makan langsung cuci piring dan peralatan masak, bersihin kompor. Kalau habis gunakan kamar mandi langsung dirapiin, dan dikeringin kalau ada air yang menetes-netes, dilap westafel*nulisnya gimana-nya, jadi serba bersih dan rapi. Kenapa begitu? Saat aku cerita ke isteriku, aku bilang, ini demi menjaga nama baik Agama dan Bangsa. Aku tidak ingin orang bukan islam, bahkan dia tak beragama, mendapat kesan bahwa ternyata orang Islam itu jorok, atau juga ternyata orang Indonesia itu menjijikkan… haha.. That’s it. Setidak-tidaknya walaupun aku tidak bisa mengangkat martabat agama dan bangsaku di mata dia, minimal aku tidak menjatuhkannya..

Mungkinkah ? Ketika berhadapan dengan orang yang sama sekali tidak mengenal, tertarik, bahkan mungkin sudah terprovokasi dengan berita buruk tentang Islam atau apapun dimana kita berafiliasi dengannya, sebuah sikap sederhana lebih baik dari banyaknya kata-kata? Mungkinkah itu disebut sebagai salah satu cara menyampaikan pesan kebaikan?


Sekolahnya Ibu

Salah satu rutinitas di kampus adalah makan siang di pantry. Sebenarnya ini rutinitas yang tidak sekedar makan, makanya terkadang walaupun lagi ga makan tetap menyempatkan ke pantry untuk ketemu dosen-dosen lain terutama yang ruangannya di gedung yang berbeda. Banyak sekali cerita, pengalaman, candaan, tips dan trik yang di share para dosen, terutama dosen senior, mengenai berbagai hal tentang kehidupan.  Jadi ini momen yang sayang sekali untuk dilewatkan.

Kali ini yang membuatku ikutan mikir adalah mengenai sekolah anak, tepatnya Sekolah Dasar alias SD. Ada dosen yang sedang dilema, minta pendapat ke dosen-dosen lain, mengenai sekolah mana yang bagus untuk anaknya. Sepertinya perihal sekolah ini cukup memusingkan ibunya, padahal kalau di kampungku dulu, masuk sekolah mau TK, SD, sampai SMA tak pernah dilema, karena pilihannya sangat-sangat terbatas *tidak perlu disebutkan jumlahnya berapa 🙂 Tapi di kota sebesar Bandung ini, ada sangat berlimpah ruah pilihan yang ditawarkan, Negeri, Swasta, Sekolah Alam, Sekolah Inklusi, dan lain sebagainya. Orang tua tentu ingin mencari sekolah terbaik untuk anaknya, seperti terbaik dalam hal perkembangan intelligent, attitude, dan dari sisi agama. Namun, sekolah yang katanya punya kualitas bagus biayanya juga sangat bagus, bahkan uang masuknya saja bisa lebih mahal dari uang masuk kuliah. Uang bulanannya bisa lebih dari UMP Jakarta. Duh duh duh.. Kalau begini, sepertinya akan jarang orang tua yang mementingkan pendidikan berani punya anak banyak, katakanlah lebih dari 5, jika tidak benar-benar berlebih secara finansial. Jika punya anak 10 misalnya, katakanlah gaji 20 juta/bulan, rasanya masih sangat sulit untuk menyekolahkan semuanya di sekolah yang bagus dengan biaya mahal tersebut.

Lantas, bagaimana kalau tetap ingin punya anak banyak meskipun orang tua tidak kaya-kaya amat secara finansial? Hmm.. Mari kita melakukan sedikit analisa kasar. Sekolah yang sebagus apapun kualitasnya, dalam satu kelas rasanya pasti jumlah muridnya lebih dari 10. Yang mengajar tiap materi rata-rata 1 orang guru. Artinya 1 orang guru mampu menghandle 10-20 anak dengan baik, dengan perhatian yang cukup kepada setiap anak. Lantas, bagaimana kalau kemampuan guru tersebut dipindahkan ke seorang ibu di rumah? Hmm.. bisa jadi dia juga bisa menghandle 10 anak dengan baik. Jadi, mungkin solusi yang terpikirkan adalah lebih baik menyekolahkan seorang ibu sehingga punya kemampuan yang baik dalam menghandle anak, kemudian anaknya dimasukkan ke sekolah biasa saja, tapi selama di rumah peran guru diambil alih oleh si ibu. Si ibu akan membimbing anak-anaknya dengan perhatian penuh dalam berbagai hal yang mungkin kurang didapatkan dari sekolahnya 🙂 Jika guru di sekolah mahal bisa memberikan yang terbaik untuk anak muridnya yang sebenarnya bukan anak-anaknya, maka seharusnya seorang ibu bisa memberikan yang terbaik dari yang terbaik untuk anak-anaknya, darah dagingnya, kebanggaan hatinya, investasinya di dunia dan akhirat 🙂

Mungkin masih banyak yang bisa ditentang dari ide ini, misalnya sekolah bagus tidak hanya punya guru yang bagus, tapi infrastruktur bagus, alat pendukung yang bagus, lingkungan yang bagus, dan lain-lain, tapi menurutku yang paling utama dalam pendidikan anak seukuran SD bukanlah intelligent, tapi tauhid, akhlak, mental, sikap dan cara pandangnya terhadap dunia dan segala permasalahannya, dan yang terbaik yang bisa dan harusnya mengajarkan ini semua tentunya adalah ayah dan ibunya.

This is just an idea 🙂


Perjalanan Menyaksikan Aktualisasi Cinta 2 Manusia

Tulisan ini dibuat selagi dalam perjalanan dari Bandung menuju Surabaya dengan kereta Argo Wilis. Tujuan perjalanan ini adalah menghadiri undangan pernikahan dua orang sahabat yang bertempat di Bondowoso. Dari namanya sudah terdengar asing, tentu jauh 😀 Yap, cukup jauh, total dibutuhkan 17 jam perjalanan untuk sampai ke Bondowoso.

Sambil menikmati perjalanan, melihat ke luar kereta dari jendela di sisi kanan, aku mengingat-ingat kembali sudah berapa banyak perjalanan ke luar kota yang kutempuh dengan tujuan serupa, yaitu menghadiri acara pernikahan teman. Aku lupa urutannya mana yang dulu, tapi kuusahakan menuliskannya terurut, bahkan mungkin masih ada yang terlupakan.

Pertama adalah menghadiri pernikahan mas Bijak Fajar Putranto seorang teman, senior sekaligus ketua organisasi tempat aku berkecimpung selama kuliah dulu. Bertempat di Depok, di masjid kubah Emas. Lalu mas Tamami Effendi, seorang teman yang menikah dengan temanku juga Anita Kusumaningtyas, bertempat di Jogjakarta, tepatnya di Gunung Kidul. Selanjutnya konvoi sepeda motor bersama rekan-rekan dosen Politeknik Telkom menuju Cianjur untuk menghadiri pernikahan Hendra Setiawan, teman mengajar di Poltek Telkom. Ada lagi perjalanan menuju Lampung dalam rangka menghadiri teman satu kosan, Wiandi Fazzar. Perjalanan yang cukup jauh, menghabiskan waktu sekitar 10 Jam, tapi mengasyikkan. Masih ada lagi, yaitu bersama rombongan Dosen ITTelkom menghadiri pernikahan Mba Rita Rismala yang juga rekan dosen yang bertempat di Ciamis. Terakhir sebelum perjalanan ini adalah menghadiri pernikahan Mas Faqih yang bertempat di Tangerang. Dan yang sedang dijalani sekarang adalah menuju pernikahan Mba Untari dan Mas Chafid, yang keduanya ada temanku. Jadi total kira-kira sudah mengunjungi 7 kota berbeda untuk menghadiri pernikahan teman-temanku. Tentunya jumlah pernikahan teman yang kukunjungi lebih dari itu, karena yang mengadakan acara di Bandung tidak dihitung 😀 Sungguh, melihat raut wajah teman yang berbinar-binar karena bahagia selalu membuatku turut bahagia. Semoga selalu menjadi keluarga yang berada dalam hidayah, rahmat, dan lindungan Allah SWT.

Oh ya, masih ada satu yang terlewat, yaitu yang lebih dulu dari Mas Bijak, yaitu Mas Erfan Fiddin yang melaksanakan acara pernikahan di Jakarta. Waktu itu perginya menggunakan Bus bersama teman-teman. Jadi total jumlah kotanya nambah 1 jadi 8 kota. Kira-kira selanjutnya kota mana lagi ya? Ayo-ayo mana lagi undangannya? Semoga diberi rizki dan kesempatan untuk bisa menghadiri hari bahagia teman-teman semua.

Hmm, edit lagi, Cimahi itu luar kota Bandung bukan? Kalau itu di hitung luar kota, berarti nambah 1 kota lagi yang sudah kukunjungi, jadi 9. Di Cimahi ada 2 pernikahan, yaitu Bayu Rimba dengan Teh Rani, dan Isa Albana dengan Eka mardila. Semoga berbahagia kawan.


Menjadi lilin dan cermin

Someone asked me, can we become a candle and also a mirror? May be this has something to do with this post. I was confused, I talked about candle but there is no mirror word in that post. So, I was trying to think like a philosopher, finding a very deep meaning in every word. Haha.. No, actually this answer just came to my mind just like that.

I want to analogize candle as sun, and mirror as moon. I think this is appropriate to the meaning of the question. Candle and sun produce light, while mirror and moon reflect the light. Next, can human become a sun and also a moon? Actually this question is absurd, there is no way that human can transform to be a sun or a moon, but this is question of philosopher :D.

Menurutku kita memang seharusnya menjadi matahari dan juga bulan. Jika kita lihat lagi, matahari tidak menyinari kita setiap saat, ia bergantian dengan bulan. Meskipun bulan hanya memantulkan cahaya yang dihasilkan oleh matahari, tapi keduanya sama-sama memberikan cahaya yang indah menyindari bumi. Begitu juga manusia, mungkin kita tidak bisa setiap saat membuat sesuatu yang bermanfaat yang murni berasar dari kita sendiri, tapi kita bisa membantu orang lain untuk menyebarkan manfaat, yang pada akhirnya membuat kita bermanfaat. Jadi, tidak peduli yang menghasilkan cahaya itu adalah matahari, selama bulan mampu menyinari bumi, itu tidak mengubah fakta bahwa bulan pun indah dan mengagumkan. Tidak peduli dari siapa ide atau siapa yang membuat pertama kali sesuatu yang bermanfaat, selama kita juga membantu menyebarkannya maka kita sebenarnya telah bermanfaat.

Last but the most important thing to be realized is all lights come from one and only source, Allah the almighty creator.


Decision is yours

Sebenarnya setiap apa pun yang terjadi selalu bisa ditanggapi dengan berbagai respon, dan kitalah yang menentukan jenis respon yang ingin kita gunakan. Ketika orang yang sangat kita cintai melanjutkan perjalanannya ke alam yang lain, kita bisa sedih namun kita juga bisa senang. Ketika kita dibikin kesal oleh seseorang atau sesuatu, kita bisa marah atau kita juga bisa bersabar. Ketika kita ditabrak dan luka memar, kita bisa marah namun kita juga bisa bersyukur. Ketika murid membandel, kita bisa cuek atau kita juga bisa termotivasi untuk merubah. Ketika sesuatu yang diinginkan belum tercapai, kita bisa putus asa namun kita juga bisa memilih untuk lebih gigih berusaha. Kalau dipersempit, jenis respon-respon yang bisa kita pilih bisa digolongkan ke dalam dua kategori yaitu positif dan negatif.

You know that every response we choose is our decision, our responsibility, and will affect ourselves(may be others too). But the point is We not They. So, actually other people will never make us become a worse person until we “decide/agree” to be worse, and so does with to be a better person.

Ketika kita marah, mungkin kita merasa benar untuk marah, berhak untuk marah, karena memang mereka yang salah. Tapi sadarkah kita bahwa marah dengan nafsu tidak membuat kita lebih baik, bahkan sebaliknya? Marah membuat kita mudah mengeluarkan kata-kata kotor, mengungkap berbagai kejelekan orang lain, membuat kelakuan menjadi tidak terkontrol, yang pada akhirnya mempermalukan diri sendiri. Apakah orang yang kita marahi menjadi pribadi yang lebih buruk? Belum tentu, sekali lagi tergantung bagaimana ia menanggapinya. Bagaimana kalau kita ganti marah dengan sikap sabar, berfikir positif, mencari alasan-alasan positif, memaklumi, tentu akan menjadikan kita lebih baik, lebih tenang, berfikir lebih jernih, dan akhirnya mengangkat harga diri kita sendiri.

Tapi tahukan anda bahwa memilih antara dua pilihan tersebut tidak mudah? Setidaknya begitulah menurutku. Ia perlu dilatih, dilatih, dan dilatih. Ia perlu terus difikirkan bahwa kita ingin memilih respon dari kategori positif, terus fikirkan. Setiap ada kejadian apapun, ingat bahwa kita sedang latihan, latihan memilih respon positif, terus begitu, sehingga jika telah terbiasa maka secara otomatis kita akan selalu memilih respon positif.

I was inspired to post this because of my journey to Jakarta yesterday. Aku pulang dengan tangan hampa, karena berkasku tidak ditemukan, padahal itu adalah berkas kedua yang ku serahkan. Tapi Alhamdulillah, jadi dekat sama mas-mas dan mba-mba yang ngurusin. Bahkan di ajak masuk ke ruangan, ngobrol, becanda, dan diajak nonton James Bond (tapi ga mau, karena mau pulang Bandung), dan dikasi tau bahwa nanti akan ditelpon tentang kabar berkasnya. Kalau saja kemaren aku pasang muka kesel duluan, tentu sikapku tidak akan ramah kepada mereka, dan mereka pun tidak akan ramah padaku. Dan setelah aku masuk ruangan, aku tahu bahwa mereka sangat sibuk sekali. Tidak ada yang santai-santai, mereka tampak stress karena load kerjaan yang mereka handle. Sampai jam 12.30 pas aku pamit pulang, mereka belum juga istirahat, masih membuat surat, mencari ini itu, dan sebagainya. Dan satu lagi, isi ruangan kerja mereka penuh dengan tumpukan berkas di mana-mana. Sampai-sampai aku sempat bercanda dengan salah satu petugas, kira-kira kalau diloakin semua dapat beli apa ya? Dapat beli motor kata mas-masnya.. 😀

Jadi, walaupun pulang dengan tangan kosong, alhamdulillah hatiku tak sekosong tanganku. Aku senang, akhirnya bisa memilih respon positif. Semoga berhasil di kejadian-kejadian berikutnya.

Mari berlatih memilih respon positif.